[Ruang Tengah]
Semua orang selalu memaksaku untuk menikah. Saat sedang duduk di teras, sedang makan ikan bakar di meja makan, sekalipun sedang bermain dengan ponakan aku selalu ditanya kapan nikah?, asal mereka lihat aku bernafas maka mereka akan menembak dadaku telak dengan pertanyaan paling bodoh tapi paling sering aku dengar itu. Aku selalu berani menjawab beberapa kalimat pertama, tapi untuk penjelasan berikutnya air mata akan jatuh lebih cepat dibanding kata-kata yang akan keluar dari mulutku.
Aku berani menjawab tapi tidak pernah berhasil sampai pada kalimat penjelasan.
Lidahku selalu kelu. Kepalaku kembali memutar film lama yang latarnya di ruang tengah. Adegan pertama yang selalu aku lihat adalah kakak yang melayangkan tinjunya ke lemari kaca, darah segar ada dimana-mana, seseorang memegang tanganku dan seorang yang lain memelukku, mama menangis histeris seperti menggila.
Yang mereka tidak tahu, pertanyaan kapan nikah yang selalu meraka lontarkan justru menjadi santapan nikmat bagi trauma masa kecil seseorang.
*
Semua orang mengenalku sebagai seorang periang yang hatinya penuh suka-cita, tidak pernah ada yang tahu ada lobang besar yang menganga di dalam dada. Yang aku tahu kejadian saat itu tidak hanya melukaiku, tapi melukai seluruh penghuni rumah. Adikku, aku, kakak, terlebih mama yang dunianya hancur kala itu. Meski sudah belasan tahun berlalu dan beberapa dari kami yang terluka kala itu sudah bisa menyembuhkan diri dan menjalani hidup seakan keajadian lalu hanya bumbu penyedap dalam kehidupan, nyatanya aku masih di sana, di ruang tengah sebagai anak kecil yang melihat cinta pertamanya menikam tepat di jantungnya. Belasan tahun berlalu dan aku masih anak kecil yang terjebak di ruang tengah.
Yang mereka tidak tahu, aku sudah mati sejak hari itu.
Hari itu aku melupakan semua bentuk perasaan. Cinta, kasih, kehangatan, atau apapun namanya, aku sudah tidak tertarik lagi. Aku menjalani hidup hanya untuk menemani mama, memastikan ia tidak merasa sendirian. Sejak hari itu aku merubah cara hidupku, sampai saat aku menulis kalimat ini aku hanya memiliki satu harapan saja, aku ingin hidup sehari lebih lama dibanding mama.
Aku tidak pandai membaca raut wajah apalagi sampai membaca pikiran seseorang, tapi ku harap mama tidak berada di tempat yang sama denganku. Aku harap mama sudah keluar dari ruang tengah itu. Sama seperti kakak dan adik, aku harap mama berhasil keluar dari ruang tengah itu.
aku harap semua orang berhasil keluar dari ruang tengah itu meski aku sendiri masih terjebak di sana. Sampai kapanpun aku akan selalu menjadi anak kecil yang jantungnya ditikam oleh cinta pertamanya sendiri, ayahnya.
Komentar
Posting Komentar